Halaman

Kamis, 04 April 2013

Bahaya Syirik



Kaum muslimin, kenyataan yang terjadi di masyarakat kita, ketika mendengar ada tetangganya yang melakukan zina, maka mereka akan tersentak kaget, terus ribut dan langsung mengolok-olok pelakunya tanpa henti. Seolah-olah dosa tersebut tidak akan pernah terampuni. Bahkan pelaku ataupun keluarganya ada yang bunuh diri lantaran tidak kuat menahan malu.
            Namun ketika ada tetangganya yang berbuat syirik (menyekutukan Alloh), seperti: menyembelih ayam cemani untuk sesaji di tempat yang angker, pergi ke dukun pesugihan, minta jampi-jampi, pelet ataupun kesaktian, mandi kembang keris-keris keramat,  sedekah laut, tabarruk dengan ahli kubur,  maka mereka cenderung bersikap acuh tak acuh dan menganggap perbuatan syirik tersebut adalah perkara sepele.
            Benar, zina merupakan perbuatan dosa besar yang sangat keji dan kita harus membencinya serta menjauhinya. Tapi, hendaknya kita lebih risih, lebih benci dan lebih menjaga diri dari perbuatan syirik. Karena syirik merupakan dosa besar yang paling besar, yang tidak diampuni sampai pelakunya benar-benar bertobat sebelum ajalnya tiba.
            Sebuah kenikmatan yang agung, Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sebagai hujjah atas umat manusia. Beliau datang dengan membawa risalah Islam yang membenahi urusan manusia dari segala sisi kehidupan, mengentaskan manusia dari jurang kenistaan dan memerdekakan manusia dari genggaman jahiliyah. Sehingga tampilah tokoh-tokoh Islam yang menggentarkan dunia.
            Karena alasan itu semua, kita harus sadari bahwasannya tidak ada peribadatan melainkan bagi Alloh semata. Tidak ada pengagungan yang mutlak selain kepada-Nya. Tidaklah kita berpegang teguh melainkan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah (petunjuk Nabi). Karena Islam adalah agama tauhid yang mengesakan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, baik dalam hal peribadatan, rububiyah maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang sempurna.
            Tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang berhak untuk diibadahi, bahkan malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun Nabi yang diutus-Nya mereka tidak berhak barang sedikitpun peribadatan atas makhluk. Apalagi orang-orang selain keduanya yang lebih rendah derajatnya di sisi Alloh, tentu lebih tidak berhak. Karena ibadah merupakan hak tunggal Robb semesta alam. Dialah Alloh Yang Mahaesa, Mahaagung, Mahatinggi, Mahamulia, Maha Berkehendak dan Mahasempurna; tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang menyamainya.
            Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar Maha Melihat.” [QS. Asy-Syuro: 11]
            Oleh karena itu, barang siapa yang mengalihkan peribadatan kepada selain Alloh, sungguh ia telah berbuat kedzaliman yang besar, merampas hak dan menghilangkan keadilan. Sehingga Alloh ‘Azza wa Jalla tidak mengampuni dosa syirik sampai pelakunya benar-benar bertobat sebelum ajalnya menjemput.
            Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidak ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” [QS. Al-Maidah: 72]
            Maka dari itu, Alloh ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menutup rapat-rapat segala wasilah/perantara yang bisa mengantarkan manusia ke dalam perbuatan syirik, di antaranya:
1)    Larangan dari shalat sunnah mutlak (shalat sunnah yang tidak memiliki sebab) pada waktu setelah shalat Shubuh sampai matahari terbit setinggi tombak dan antara setelah shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari.
Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  telah bersabda:
«لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ»
Artinya: “Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh sampai matahari meninggi, dan setelah shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari.” [HR. Bukhari: 586 dan Muslim: 827]
Hal tersebut dilarang karena menyerupai orang-orang kafir yang menyembah matahari saat terbit dan saat terbenam.
2)    Larangan dari shalat  menghadap ke kuburan
Perkara tersebut dilarang karena menyerupai kaum yang menyembah kuburan. Dimana mereka menuhankan orang yang telah dikubur, meminta-minta padanya dan ber-istighotsah padanya, bahkan ada yan sampai thowaf mengelilingi kuburannya.
Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda:
«لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا»
Artinya: “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan janganlah kalian duduk di atasnya.” [HR. Muslim: 972 dan Nasai: 760]
Padahal Alloh 'Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk berdo’a/memohon langsung kepada-Nya. Dia berfirman:
Artianya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (enggan berdo’a) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’". [QS. Ghafir: 60]
Selain itu do’a adalah ibadah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah hadits:
«الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ»
“Do’a adalah ibadah” [HR. Abu Daud: 1479, Tirmidzi: 2969 dan Ibnu Majah: 3828]
Sebagaimana ibadah, tidak boleh dipersembahkan kepada selain Alloh, begitu juga do’a tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya.
3)    Larangan dari bersikap ghuluw/berlebih-lebihan dalam memuji seseorang.
Karena hal tersebut akan mendorong pelakunya untuk menuhankan orang tersebut. Bahkan sampai terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam; orang yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya di sisi Alloh, kita dilarang untuk berlebih-lebihan dalam memujinya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  telah bersabda:
«لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ»
Artinya: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Saya hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah: ‘Hamba dan utusan Alloh!’” [HR. Bukhari: 3445]
4)    Larangan dari membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid
Hal ini karena menyerupai apa yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani, yang pada akhirnya akan menjerumuskan manusia pada penyembahan terhadap penghuni kubur tersebut, serta timbul keyakinan bahwa orang yang telah mati tersebut bisa memberi manfaat dan menghilangkan keburukan. Atau menjadi perantara yang menyampaikan do’anya kepada Alloh 'Azza wa Jalla. Itu semua merupakan perkara bathil; tidak dibenarkan dalam Islam.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda:
«لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»
Artinya: “Alloh melaknat orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” [HR. Bukhari: 435 dan Muslim: 531]
Beliau juga bersabda:
«إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءٌ، وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُورَ مَسَاجِدَ»
Artinya: “Sesungguhnya termasuk sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang ketika Kiamat datang mereka masih hidup dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” [HR. Ahmad: 6/394, 7/209]
Kaum muslimin, dari contoh-contoh larangan di atas, kita tahu betapa besar perhatian Nabi kita dan betapa besar perhatian Islam untuk mewujudkan tauhid yang murni bagi Alloh semata. Betapa besar peringatan Nabi atas umatnya dari segala hal yang bisa membatalkan tauhid, yaitu syirik (menyekutukan Alloh dengan makhluknya). Mengingat betapa banyak bahaya syirik, diantaranya:
a.    Syirik merupakan dosa besar yang paling besar,
b.    Syirik besar bisa merusak seluruh amal sholeh yang telah dikerjakan,
c.    Amal-amal kebajikan yang dikerjakan tidak diterima di sisi Alloh,
d.    Dosa syirik tidak diampuni sampai pelakunya benar-benar bertobat sebelum sakaratul maut, dan
e.    Pelaku syirik kekal di neraka.
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa meningkatkan ilmu kita tentang Islam, agar kita tidak terjerumus pada perbuatan yang bisa merusak agama kita disebabkan kebodohan kita. Semoga Alloh 'Azza wa Jalla senantiasa menuntun kita agar tetap berjalan di atas jalan-Nya yang lurus dan melindungi kita dari segala bentuk kesyirikan. Amiin
Wallohu A’lam bishshowab. [Abu Zaid Al-Kebumeny]

Referensi:
-   Al-Qur`an Al-Karim
-   Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an
-   Shahih Bukhari
-   Shahih Muslim
-   Sunan Abu Daud
-   Sunan Tirmidzi
-   Sunan Ibnu Majah
      -  Musnad Imam Ahmad

_______________
Nopi Indrianto, B.Sh., M.H.

0 komentar:

Posting Komentar