BUAH CINTA
RASUL
Kaum muslimin rahimakumullah,
Kalau
kita bertanya pada setiap muslim, “Apakah engkau cinta kepada Nabi kita
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam?” Niscaya mereka akan menjawab,
“Tentu, saya mencintainya.”
Namun,
permasalahannya adalah: apakah kita semua sudah tahu, bagaimana cara mencintai
beliau? Dan apa saja konsekuensi dari cinta Rasul?
Itulah
yang insya Alloh akan saya uraikan pada kesempatan ini, yaitu: cara mencintai
Rasul kita dan konsekuensi dari cinta Rasul tersebut. Karena jangan sampai kita
mengaku cinta kepadanya, tapi malah kita ‘sembrono’ atau bahkan melanggar
petunjuknya.
Di
antara kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah: kita harus mengakui dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Alloh yang diutus untuk seluruh
manusia sebagai penutup para nabi sebelumnya.
Alloh
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu
itu adalah Tuhan yang Esa’". [QS. Al-Kahfi: 110]
Pada
ayat yang lain Alloh 'Azza wa Jalla berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
para nabi.” [QS. Al-Ahzab: 40]
Dua
ayat di atas menunjukkan pada kita bahwa kedudukan beliau sebagai seorang hamba
tidak mungkin naik derajatnya menjadi tuhan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan
orang yang bertawassul atau istighotsah kepadanya. Alloh Subhanahu wa Ta'ala
sendiri menolak hal tersebut dalam firman-Nya:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa
mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu
kemanfaatan’". [QS. Al-Jin: 21]
Terus,
apa saja konsekuensi dari cinta Rasul? Apa saja kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap mukmin yang bersaksi bahwasannya ‘Muhammad adalah utusan Alloh’?
Hal-hal
yang wajib diwujudkan sebagai konsekuensi dari syahadat Rasul adalah:
1.
Membenarkan Semua Berita yang Datang dari Rasulullah
Kita
tidak boleh meragukan, apalagi mendustakan berita-berita dari beliau dengan alasan
berita itu bertentangan dengan akal atau zaman. Karena tidaklah Rasulullah
menyampaikan berita itu, melainkan berasal dari wahyu yang Alloh turunkan
padanya.
Alloh Subahanahu
wa Ta'ala telah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya: “Dan
Tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS.
An-Najm: 3-4]
Di antara
berita darinya yang wajib kita imani yaitu: berita tentang tanda-tanda hari
kiamat, seperti munculnya Dajjal dan turunnya Isa al-Masih, berita tentang
nikmat dan siksa kubur, serta berita-berita ghaib lainnya.
2.
Menaati Rasulullah
Ketaatan
padanya merupakan perwujudan sikap pengakuan terhadap kerasulan beliau. Alloh 'Azza
wa Jalla telah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Artinya: “Barangsiapa
yang menaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [QS.
An-Nisa: 80]
Ketaatan
kepada Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meliputi dua sisi, yaitu:
a.
Dengan Menjalankan Perintah-perintahnya
Sudah
seharusnya kita melaksanakan perintah-perintah beliau sebagaimana wasiat beliau
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
«فإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم»
Artinya: “Jika
aku perintahkan sesuatu maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu.” [HR.
Muslim: 1337]
Jangan
sampai kita menolak perintah beliau, hanya karena secara kasat mata hadits
beliau bertentangan dengan akal. Karena kalau sampai terjadi pertentangan antara hadits dengan akal kita, padahal
hadits tersebut shahih, maka sesungguhnya akal kitalah yang lemah; tidak mampu
mencerna hadits tersebut sesuai dengan tuntutan.
Misal
saja: perintah beliau untuk mencelupkan lalat yang jatuh dalam minuman baru kemudian
dibuang, dan perintah beliau untuk
menjilat tangan setelah selesai makan. Walaupun secara kasat mata perintah tersebut
bertentangan dengan akal (jorok), tapi ternyata setelah diadakan penelitian
oleh para ilmuan, di sana ada hikmah yang luar biasa bagi kesehatan manusia.
b.
Dengan Menjauhi Seluruh Larangannya
Sebab
adanya larangan tersebut adalah untuk mencegah manusia dari berbagai kerusakan
yang membinasakanya sendiri, baik di dunia maupun di akherat.
Diantara
larangan beliau yang mana kebanyakan umat Islam belum memperhatikannya
misalnya: larangan dari memakan harta riba, mendengarkan musik, isbal
(memanjangkan celana / pakaian melebihi mata kaki) bagi laki-laki, dan larangan
dari menyerupai/ tasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dari segi pakaian,
hukum, maupun adat kebiasaan yang menjadi ciri khas mereka.
Alloh Subahanahu
wa Ta'ala telah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.” [QS. Al-Hasr: 7]
3.
Berhukum kepada Sunnah Rasulallah
Sebagaimana
Alloh 'Azza wa Jalla telah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ” [QS. An-Nisaa: 65]
Itulah
tiga konsekuensi dari Syahadat Rasul yang harus dilakukan oleh setiap orang yang
mengaku bahwa dia cinta kepada baginda Nabi. Barangsiapa yang berusaha untuk
mengamalkan tiga konsekuensi tersebut, niscaya dia tidak akan taklid buta/
fanatik sempit, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ulama kita;
walaupun mereka berselisih pendapat dalam suatu permasalahan, tapi mereka tetap
menjaga persatuan di antara mereka. Di antaranya Imam Syafi’i rahimahullah
berkata:
(إذا
صحّ الحديث فهو مذهبي)
“Jika ada hadits yang shahih, maka itu
adalah madzhabku.”
(كلّ حديث عن النّبي فهو
قولي, وإن لم تسمعوا منّي)
“Setiap hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam adalah pendapatku, walaupun kalian belum pernah mendengarnya dariku.”
Dengan
mewujudkan 3 konsekuensi di atas niscaya akan tumbuh rasa cinta kita kepada
Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang mana dengan cinta itu,
kita akan mendapatkan buahnya, yaitu:
1.
Kita akan merasakan manisnya iman
Sebagaimana
yang diisyarat dalam hadits Nabi :
« ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ
إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ»
Artinya: “Ada tiga perkara, barangsiapa yang melakukan tiga
perkara tersebut niscaya ia akan merasakan manisnya iman: Hendaknya Alloh dan
Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selain keduanya, hendaknya dia mencintai seseorang
karena Alloh dan hendaknya dia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia
benci jika hendak dilemparkan ke dalam neraka.” [HR. Bukhari: 6941 dan
Muslim: 43]
2.
Dikumpulkan
bersama beliau dalam surga
Dari
Anas bin malik radliallahu 'anhu berkata:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ
مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: «وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ؟» قَالَ: حُبَّ اللهِ
وَرَسُولِهِ، قَالَ: «فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ»
“Datang
seorang menemui Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bertanya: ‘Wahai
Rasulallah kapan hari kiamat terjadi?’ Beliau balik bertanya: ‘Apa yang engkau
siapkan untuk menghadapi hari kiamat tersebut?’ Dia menjawab: ‘Cinta kepada
Alloh dan Rasul-Nya.’ Maka Rasulallah bersabda: ‘Sesungguhnya engkau kelak
bersama orang yang engkau cintai (di surga).” [HR. Muslim: 2639]
Referensi: 1.
Al-Qur’an Al-Karim
2.
Shahih Bukhari
3.
Shahih Muslim
4.
Shahih Fiqh Sunnah
5.
‘Aqidah Tauhid
_______________
Nopi Indrianto, B.Sh., M.H.
0 komentar:
Posting Komentar