Halaman

Kamis, 17 Mei 2012

Hukum Kepemimpinan


ISLAM DAN KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan adalah hal yang penting dan sangat dibutuhkan dalam segala segi kehidupan. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengaturnya sedemikian lengkap dan teratur. Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam  bersabda: “ Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinan kalian, Seorang penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seluruh anggota keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, dan seorang pembantu adalah pemimpin di dalam harta tuannya dan bertanggung  jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dengan demikian, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (HR. Bukhori No. 893, 2559, Muslim No. 1829).
Hadist di atas menjelaskan bahwa semua manusia adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak sesuai dengan kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan bahwa segala sisi kehidupan harus sesuai dengan ajaran Islam, lebih-lebih kepemimpinan yang menyangkut kemaslahatan kaum muslimin seperti kepemimpinan penguasa terhadap rakyatnya baik dia kepala desa, camat, bupati, gubernur, terlebih lagi seorang presiden atau raja.

Metode Pengangkatan Pemimpin
Para ulama menyatakan bahwa mengangkat seorang kholifah/pemimpin adalah wajib. Al Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Al Baqarah ayat 30, berkata: “ Al Qurtubi dan lainnya menjadikan ayat ini (QS. Al Baqarah: 30) sebagai dalil wajibnya mengangkat koalifah untuk memutuskan perkara yang mereka sengketakan, memutuskan perkara yang mereka perebutkan, juga menolong orang yang teraniaya dari orang yang mendzaliminya, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan perkara-perkara penting lainnya yang tidak mungkin ditegakan kecuali dengan adanya imam ( pemimpin). Dan sesuatu, yang mana sebuah kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu juga merupakan hal yang wajib. Setelah menyebutkan wajibnya ada kepemimpinan kemudian Al Hafidz menyebutkan metode pengangkatan kholifah (pemimpin) sesuai dengan syariat Islam dan syarat-syarat menjadi seorang kholifah (pemimpin) sebagai berikut:
Pertama: Dengan nash ( dalil), sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa ulama Ahlus Sunnah tentang pengangkatan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Kedua: Melalui penunjukan dan pelimpahan pada akhir masa jabatan sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Ketiga: Dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang sholih, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khottab Radhiallahu ‘Anhu.
Kelima: Dengan kesepakatan bersama dari “Ahlul Halli wal ’Aqdi”  ( orang-orang pilihan yang terdiri dari ulama dan tokoh terkemuka yang mewakili kaum muslimin untuk membaitnya) yang dengan orang-orang inilah kesepakatan dapat tercapai.
Kelima: Dengan bai’at salah seorang dari mereka (Ahlul Halli wal Aqdi) maka wajib mengikuti bai’at tersebut menurut pendapat jumhur.



Syarat-Syarat Seorang Pemimpin
Imam (pemimpin) secara umum haruslah seorang laki-laki, merdeka, adil, baligh, berakal, muslim, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, dan memahami strategi perang. Adapun kekholifahan di bawah seorang kholifah maka kholifah disyaratkan harus berasal dari Quraisy berdasarkan pendapat yang kuat sebagaimana Khulafaur Rosyidin semuanya berasal dari Quraisy. Selain itu, para ulama pun sepakat tidak bolehnya seorang wanita memimpin di pemerintahan dengan beberapa sebab diantaranya:
Pertama: Merupakan fitrah wanita bahwa tempat terbaik mereka adalah di rumah suaminya dan bertanggung jawab untuk menjaga rumah suami, hartanya, serta kehormatannya, serta kehormatan dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  di atas Seoarang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”. Maksudnya ketika suami tidak ada sedangkan ketika suami ada di rumah maka suaminya adalah pemimpin di rumahnya.
Kedua: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  mengatakan bahwa suatu kaum yang dipimpin seorang wanita maka  tidak akan pernah beruntung. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam    bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan perkara (kepemimpinan) kepada seorang wanita.” (HR. Bukhori No. 4425 & 8099). Karena sebab ini pula semua Nabi dan Rasul tidak ada yang dari kaum wanita.
Kiranya kedua sebab ini cukup mewakili beberapa sebab lainnya tentang tidak bolehnya wanita menjadi pemimpin dalam pemerintahan atau urusan yang di dalamnya ada seorang laki-laki, karena wanita untuk menjadi imam sholat berjamaah saja tidak sah baginya kalau memang di antara makmumnya ada seorang lelaki. Lantas bagaimana dengan kepemimpinan yang lebih besar dari itu? [ Ibnu Tarmidzi ]


Maroji:
Ø  Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir ibnu Katsir
Ø  Shohih Al Bukhori
Ø  Shohih Muslim

0 komentar:

Posting Komentar