ISLAM DAN
KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan
adalah hal yang penting dan sangat dibutuhkan dalam segala segi kehidupan. Islam
sebagai agama yang sempurna telah mengaturnya sedemikian lengkap dan teratur.
Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “ Setiap kalian adalah pemimpin
dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinan
kalian, Seorang
penguasa adalah
pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seluruh anggota keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan bertanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya, dan seorang pembantu adalah pemimpin di dalam harta tuannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dengan
demikian, masing-masing kalian
adalah pemimpin dan
masing-masing kalian
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (HR. Bukhori
No. 893, 2559, Muslim
No. 1829).
Hadist di atas menjelaskan bahwa semua
manusia adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak sesuai dengan kepemimpinannya.
Hal ini menunjukkan bahwa
segala sisi kehidupan harus sesuai dengan ajaran Islam, lebih-lebih
kepemimpinan yang menyangkut kemaslahatan kaum muslimin seperti kepemimpinan penguasa terhadap rakyatnya baik
dia kepala desa, camat, bupati, gubernur, terlebih lagi
seorang presiden atau raja.
Metode Pengangkatan Pemimpin
Para ulama
menyatakan bahwa mengangkat seorang kholifah/pemimpin adalah wajib. Al Hafidz Ibnu Katsir ketika
menafsirkan firman Allah Q.S. Al Baqarah ayat 30, berkata: “ Al
Qurtubi dan lainnya menjadikan ayat ini (QS. Al Baqarah:
30) sebagai dalil wajibnya mengangkat koalifah untuk memutuskan perkara yang mereka sengketakan, memutuskan
perkara yang mereka perebutkan,
juga menolong orang yang teraniaya
dari orang yang mendzaliminya, menegakkan hukum, mencegah
berbagai perbuatan keji, dan perkara-perkara penting lainnya
yang tidak mungkin ditegakan kecuali dengan adanya imam ( pemimpin). Dan sesuatu, yang
mana sebuah kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu juga merupakan hal
yang wajib. Setelah menyebutkan
wajibnya ada kepemimpinan kemudian Al Hafidz menyebutkan metode pengangkatan
kholifah (pemimpin) sesuai dengan syariat Islam dan syarat-syarat menjadi seorang
kholifah (pemimpin) sebagai berikut:
Pertama: Dengan nash ( dalil), sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa ulama Ahlus Sunnah tentang pengangkatan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Kedua: Melalui penunjukan dan pelimpahan
pada akhir masa jabatan sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Ketiga: Dengan menyerahkan permasalahan
untuk dimusyawarahkan oleh
orang-orang sholih,
sebagaimana yang dilakukan
oleh Umar bin Khottab Radhiallahu ‘Anhu.
Kelima: Dengan kesepakatan bersama dari “Ahlul Halli wal ’Aqdi” (
orang-orang pilihan yang terdiri dari ulama dan tokoh terkemuka yang mewakili kaum
muslimin untuk membaitnya) yang
dengan orang-orang inilah kesepakatan dapat tercapai.
Kelima: Dengan bai’at salah seorang dari mereka (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) maka wajib mengikuti bai’at
tersebut menurut pendapat jumhur.
Syarat-Syarat Seorang Pemimpin
Imam (pemimpin)
secara umum haruslah seorang laki-laki, merdeka, adil, baligh, berakal, muslim, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, dan memahami
strategi perang. Adapun kekholifahan
di bawah seorang kholifah maka kholifah disyaratkan harus berasal dari Quraisy berdasarkan pendapat yang kuat
sebagaimana Khulafaur Rosyidin semuanya berasal
dari Quraisy. Selain itu, para ulama pun sepakat tidak bolehnya
seorang wanita memimpin di pemerintahan dengan beberapa sebab diantaranya:
Pertama: Merupakan fitrah wanita bahwa
tempat terbaik mereka adalah di rumah suaminya dan bertanggung jawab untuk menjaga rumah
suami, hartanya, serta kehormatannya, serta kehormatan dirinya sendiri.
Hal ini sebagaimana dalam
hadits Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam di atas “Seoarang wanita
adalah pemimpin di
rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”. Maksudnya ketika suami tidak ada sedangkan ketika
suami ada di rumah maka
suaminya adalah pemimpin di
rumahnya.
Kedua: Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan bahwa suatu kaum yang
dipimpin seorang wanita maka tidak akan
pernah beruntung. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan perkara (kepemimpinan) kepada seorang wanita.” (HR. Bukhori
No. 4425 & 8099). Karena sebab ini pula semua Nabi dan Rasul tidak ada yang dari kaum wanita.
Kiranya kedua
sebab ini cukup mewakili beberapa sebab lainnya tentang tidak bolehnya wanita menjadi
pemimpin dalam pemerintahan atau urusan yang di dalamnya ada seorang laki-laki,
karena wanita untuk menjadi imam sholat berjamaah saja tidak sah baginya kalau
memang di antara makmumnya ada seorang lelaki. Lantas bagaimana dengan
kepemimpinan yang lebih besar dari itu? [ Ibnu Tarmidzi ]
Maroji:
Ø
Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir ibnu Katsir
Ø
Shohih Al Bukhori
Ø
Shohih Muslim
0 komentar:
Posting Komentar