Halaman

Kamis, 12 Juli 2018

Tak Ada Udzur Bagimu Meninggalkan Shalat


Sebuah fenomena yang menyedihkan; tidak sedikit dari masyarakat kita yang ber-KTP Islam, tapi menyepelekan shalat fardhu. Pemandangan tersebut bisa kita jumpai misalnya ketika kita safar menggunakan kereta api. Mayoritas penumpang yag beragama Islam meninggalkan shalat sama sekali dengan alasan: tidak bisa wudhu atau kondisinya repot; tidak bisa berdiri atau ruku’ dan sujud, tidak bisa menghadap kiblat atau sekedar rasa malu dan takut dikatai ‘sok alim’, na’udzu billah.

Begitu juga saat sakit, kebanyakan orang cenderung meninggalkan shalat, dengan alasan tidak mampu melaksanakan shalat dengan sempurna. Padahal saat-saat seperti itu hendaknya ia lebih mendekatkan diri kepada Alloh dengan memperbanyak shalat dan do’a.

Saudara dan saudariku, ketahuilah!
Islam merupakan agama yang sempurna; yang mengatur segala aspek kehidupan umatnya, yang memberikan solusi atas segala permasalahan seorang hamba. Namun kebanyakan umat Islam tidak tahu atau tidak mau tahu akan hal itu. Tidak heran; karena pokok permasalahannya adalah: apakah kita sudah meluangkan waktu untuk menggali dan mempelajari Islam lebih dalam? Karena itulah kuncinya, dengan belajar kita menjadi tahu!

Islam datang dengan segala kemudahanya, tidak membebani hambanya di luar batas kemampuanya. Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. Al-Baqarah: 185]

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS. Al-Baqarah: 286]

Sebagaimana kita ketahui, dalam syariat Islam ada yang disebut dengan rukhshah (keringanan) dalam melaksanakan kewajiban. Rukhshah tersebut bisa berupa gugurnya suatu kewajiban, seperti: gugurnya kewajiban haji bagi orang yang tidak mampu, atau dalam bentuk keringanan dalam pelaksanaan suatu ibadah, seperti: keringanan dalam gerakan shalat bagi orang yang memiliki udzur atau halangan (sebagaimana yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini).

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [QS. At-Taghobun: 16]

Rasululloh Shallallohu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
«فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Jika saya larang kalian dari sesuatu maka hindarilah, dan jika saya perintah kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu.” [HR. Bukhari: 7288]

Saudara-saudariku yang semoga senantiasa dirahmati Alloh Ta’ala,
Shalat fardhu merupakan kewajiban atas setiap muslim yang baligh dan berakal sehat, ia tidak boleh ditinggalkan sama sekali selama tidak ada udzur (halangan) yang menggugur kewajiban tersebut. Seorang muslim tetap wajib melaksanakannya walaupun dengan cara yang tidak sempurna.
Misalnya: ketika kita sakit kita tetap melaksanakan shalat sesuai dengan kemampuan kita:
Seandainya kita masih mampu berdiri walaupun harus menggunakan tongkat, maka kita laksanakan shalat dengan berdiri.
Bila kita tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk. Insya Alloh kita tetap mendapatkan pahala yang sempurna, karena kita melakukan hal itu bukan tanpa alasan.
Jika tidak mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring miring ke arah kiblat. Jika tidak mampu demikian maka shalat dengan posisi terlentang dan menggganti gerakan ruku’ dan sujud dengan isyarat kepala.

Hal itu sebagaimana Baginda Rasul Shallallohu 'Alaihi wa Sallam ajarkan pada Imran ketika ia sakit:
«صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»
“Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka (shalatlah) dengan berbaring.” [HR. Bukhari: 1117
Saudara saudariku, begitu juga ketika safar kita mendapat dispensasi (keringanan) dalam melaksanakan shalat:

Qashar
Qashar shalat disyariatkan bagi orang yang melakukan safar, yaitu: meringkas shalat yang berjumlah empat reka’at menjadi dua reka’at.

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ}
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).” [QS. An-Nisaa`: 101]

Rasululloh Shallallohu 'Alaihi wa Sallam bersabda mengenai ayat tersebut:
«صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ»
“(Ini adalah) sedekah dari Alloh bagimu, maka terimalah sedekah-Nya.” [HR. Muslim: 686]

Para ulama mengatakan bahwa shalat qashar bagi musafir lebih utama daripada menyepurnakannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallohu 'Alaihi wa Sallam:
«فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ»
“(Semula) shalat itu diwajibkan dua reka’at-dua reka’at baik dalam keadaan mukim maupun safar, kemudian ditetapkan (dua reka’at) saat safar dan ditambah bagi orang yang mukim.” [HR. Bukhari: 3935 dan Muslim: 685, dan lafazh ini sesuai dengan riwayat Muslim]

Umar radliallohu 'anhu berkata berdasarkan ucapan Nabi Shallallohu 'Alaihi wa Sallam:
«صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ، وَالْجُمُعَةُ رَكْعَتَانِ، وَالْعِيدُ رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ»
“Shalat saat safar dua reka’at, shalat jum’at dua reka’at, shalat ‘Ied dua reka’at, sempurna tanpa pengurangan.” [HR. Ibnu Majah: 1063, hadits shahih]

Bagi orang yang sering melakukan safar, seperti: orang yang bekerja sebagai kurir barang atau supir bis antar kota, mereka tetap disyariatkan untuk meng-qashar shalatnya, karena Rasululloh Shallallohu 'Alaihi wa Sallam senantiasa meng-qashar shalatnya setiap kali beliau safar.

Jamak
Orang yang safar diberi keringanan untuk menjamak (mengumpulkan) antara shalat dhuhur dan ashar begitu juga antara shalat maghrib dan ‘isya pada salah satu waktunya.

Adapun cara menjamak yang utama adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal radliallohu 'anhu:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى أَنْ يَجْمَعَهَا إِلَى العَصْرِ فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ عَجَّلَ العَصْرَ إِلَى الظُّهْرِ وَصَلَّى الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ، وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ المغْرِبِ أَخَّرَ المغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ العِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ المغْرِبِ عَجَّلَ العِشَاءَ فَصَلَّاهَا مَعَ المغْرِبِ»
“Bahwasanya Nabi Shallalllohu 'Alaihi wa Sallam ketika perang Tabuk; jika pergi sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan dhuhur sampai waktu ashar dan menjamak keduanya (di waktu ashar). Jika dia bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau memajukan shalat ashar ke waktu dhuhur dan menjamak keduanya (di waktu dhuhur) kemudian beliau berangkat. Jika beliau berangkat safar sebelum matahari terbenam, maka beliau mengakhirkan maghrib hingga kemudian menjamaknya dengan shalat ‘isya. Dan jika pergi setelah masuk maghrib, beliau memajukan shalat ‘isya (ke waktu maghrib) dan menjamak keduanya.” [HR. Abu Dawud: 1220 dan Tirmidzi: 553, hadits shahih]

Selain untuk orang yang safar shalat jamak juga disyariatkan dalam beberapa keadaan, diantaranya:
- Ketika sakit dan kesulitan untuk melaksanakan shalat pada setiap waktunya.
- Wanita yang mengalami istihadhah.
- Orang yang mengalami penyakit tsulutsul baul (air seni keluar terus).
- Jamak antara shalat maghrib dan ‘isya, ketika turun hujan bagi orang yang melaksanakan shalat jama’ah di masjid.

Saudara saudariku,
Adapun musafir yang naik kendaraan dan tidak mungkin untuk berhenti saat datang waktu shalat, maka ia tetap wajib melaksanakannya walaupun di atas kendaraan. Ia melakukan gerakan-gerakan shalat sesuai dengan kemampuannya.
{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [QS. At-Taghobun: 16]

Saudara saudariku yang semoga senantiasa dirahmati Alloh Ta’ala,
Islam datang dengan kemudahan, tapi jangan sampai kita mempermudah / menyepelekannya. Jangan sampai kita meninggal shalat hanya karena menjumpai sedikit kesulitan ketika safar atau sakit. Karena shalat merupakan tiang agama dan pembeda antara orang islam dan kafir.

Rasululloh Shallallohu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
«العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
“Pembeda antara kita dan mereka (orang kafir) adalah shalat, maka barang siapa meninggalkannya berarti dia telah kafir.” [HR. Tirmidzi: 2621, Nasa`i: 463 dan Ibnu Majah: 1079, hadits shahih]
Ibnu Mas’ud radliallohu 'anhu berkata:
(مَنْ لمْ يُصَلِّ فلَا دِيْنَ لهُ)
“Barang siapa tidak shalat berarti ia tidak memiliki agama.”

Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan taufik oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala untuk tetap istiqomah dalam melaksanakan peintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya. Wallohu A’lam.


Referensi:
-Al-Qur`an Al-Karim
-Tafsir Qurtubi
-Shahih Bukhari
-Shahih Muslim
-Sunan Tirmidzi
-Sunan Nasa`i
-Sunan Ibnu Majah
-Al-Mulakhosh Al-Fiqhiy, karya Syekh Fauzan
-Al-Kabair, karya Imam Dzahabi

_______________
Nopi Indrianto, B.Sh., M.H.

Demi Masa(Memetik Pelajaran dari Surat Al-'Ashr)


Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian...
Iya, itulah makna dari permulaan surat Al-'Ashr. Merupakan teguran yang sangat keras bagi kita; apabila jiwa-jiwa kita masih tersadar dan mampu mendengarkan hati nurani yang jernih.
Surat Al-'Ashr merupakan salah satu surat yang diturunkan sebelum Baginda Nabi Shallallohu 'Alaihi wa Sallam hijrah (baca: makiyyah). Isinya yang singkat, padat (hanya terdiri dari tiga ayat), akan tetapi sarat dengan kandungan makna dan nasehat, sebagai pedoman hidup manusia yang akalnya sehat.

Bunyi dari surat itu adalah:
{وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)}
Yang artinya: "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." [QS. Al-'Ashr: 1-3]

Isinya yang sarat makna, seolah-olah cukup sudah dengan satu surat ini sebagai pedoman hidup manusia.

Sampai-sampai imam Syafi'i rahimahullah mengatakan:
(لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجّةً عَلَى خَلْقِهِ إلَّا هَذِهِ السُّورَة لَكَفَتْهُمْ)
"Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas makhluknya kecuali satu surat ini pastilah telah mencukupi."

Dalam ayat pertama Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: وَالْعَصْرِ (demi masa), Allah Ta'ala bersumpah dengan masa/ waktu yang merupakan salah satu makhluknya. Setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil dari ayat ini:

Pertama: Ketika Allah Ta'ala bersumpah dengan makhluknya, itu menunjukkan betapa pentingnya makhluk tersebut. Karena tidaklah kita bersumpah dengan sesuatu melainkan karena kita mengagungkannya dan menganggap sakral hal tersebut.
Iya, waktu merupakan salah satu makhluk Allah Ta'ala yang Dia ciptakan untuk manusia; sebagai modal hidup di dunia. Waktu sebagai aset utama bagi kita, namun kita lebih sering lalai dan menyia-nyiakannya. Kita baru tersadar akan pentingnya waktu, tatkala nikmat tersebut lenyap; tatkala kesibukan dunia menghadang, mempersempit ruang hidup kita. Di saat itulah penyesalan mulai membuat gundah hati kita, mengusik ketenangan jiwa kita...

Rasulullah Shallallohu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
(نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ؛ الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ)
"Dua kenikmatan yang sering manusia lalaikan; kesehatan dan waktu luang."

Pelajaran kedua: Bersumpah dengan masa/ waktu adalah hak prerogatif Allah (tidak bisa diganggu gugat); untuk menunjukkan pentingnya makhluk tersebut. Sedangkan kita sebagai makhluk tidak boleh bersumpah kecuali dengan nama Allah atau sifat-sifat-Nya. Karena sumpah dengan selain Allah merupakan bentuk kesyirikan (baca: syirik kecil); sebab menyekutukan Allah dengan makhluknya dalam pengagungan-Nya.

Rasulullah Shallallohu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
(مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ)
"Barang siapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah berbuat syirik." [HR. Abu Dawud: 3251]

Pelajaran ketiga: Sebagaimana yang sudah maklum, bahwa sumpah merupakan salah satu bentuk penekanan bahasa agar orang yang kita ajak bicara, benar-benar memperhatikan apa yang akan disampaikan selanjutnya. Ini baru satu penekanan.
Kemudian datang beberapa penekanan lagi, menunjukkan bahwa manusia benar-benar rugi. Yaitu pada ayat kedua: إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. Kata (إِنَّ) yang berarti sungguh dalam Bahasa Arab merupakan salah satu kata yang digunakan untuk penekanan. Begitu juga kata (الْإِنْسَانَ) berarti seluruh manusia; tanpa terkecuali. Karena (ال) di sini disebut alif lam al-istighroqiyah (أل الاستغراقية) yang menunjukkan keumuman kata tersebut. Ketiga huruf lam pada kata (لَفِي) berarti sungguh/ benar-benar sebagaimana kata (إِنَّ). Diakhiri dengan kata mutlak (خُسْرٍ) yang menunjukkan kerugian dalam segala hal. Jadi makna keseuruhan: sesungguhnya seluruh manusia (tanpa terkecuali) benar-benar dalam kerugian.

Itu semua sebagai ancaman dan peringatan bagi manusia agar mereka takut dan mawas diri.
Alhamdulillah ayatnya tidak berhenti sampai di sini. Pada ayat selanjutnya Allah memberikan kabar gembira bagi jiwa ini.

Memang pada hakekatnya seluruh manusia itu rugi, akan tetapi ada yang dikecualikan. Artinya ada sebagian orang yang tidak merugi, bahkan termasuk orang-orang yang beruntung dan mendapatkan kemenangan. Yaitu para manusia yang memiliki ciri-ciri sebagaimana termaktub pada ayat ketiga:
{إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}

1. Beriman dan beramal shaleh.

Iman dan amal shaleh merupakan aplikasi nyata dari dua kalimat syahadat:
(لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ)

Ketika orang mengaku hatinya beriman maka dia harus mengaplikasikan keimanannya dalam bentuk amal shaleh. Tidak diterima celotehan sebagian orang: "yang penting kan hatinya"! Karena dua kalimat syahadat merupaka satu-kesatuan tak terpisahkan.

Iman tanpa amal bagaikan tanah tandus yang gersang. Dia hanya merasakan kegelisahan dan keresahan. Sampai pada saat hatinya mati, terkuncilah; tak lagi mengenali cahaya keimanan. Sebaliknya, amal tanpa iman bagaikan debu yang tertiup angin pada hari yang terik; tak berbekas...

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfiman:
{مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ}
Artinya: "Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." [QS. Ibrahim: 18]

2. Saling menasehati dalam kebenaran (mendakwahkan al-hak).
Ini merupakan sebaik-baiknya umat; selain menjadi orang shaleh dia juga memberikan manfaat bagi orang lain, dengan berupaya mendakwahkan keimanan dan kebenaran. Karena dakwah merupakan jalan para nabi, sebagai tameng agar kemungkaran tidak menyebar dan tersebarlah kebajikan serta kemakmuran.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ...}
Artinya: " Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." [QS. Ali Imran: 110]

Jangan memandang sempit makna dakwah! Dakwah tidak terbatas di atas mimbar atau perlu hari khusus untuk keluar menyeru manusia. Dakwah bukan pekerjaan khusus para ustadz atau kiayi. Setiap orang memikul beban dakwah sesuai kemampuan dan kedudukannya, dengan cara dan trik masing-masing selama dalam bingkai ilmu; menyeru manusia dengan hikmah dan mau'izhah hasanah, bukan dengan debat kusir.

3. Saling menasehati dalam kesabaran.
Hidup itu penuh liku, terkadang sedang asyik-asyiknya jalan tiba-tiba lubang pun menghadang, tak terelakkan...

Terkadang seseorang tak mampu menghadapi ujian sendiri. Bisa jadi, dia terjerumus pada lubang kenistaan sebab tak kuat mananggung beban. Dari sini kita tahu pentingnya sebuah nasehat dan memberikan dukungan serta motivasi; untuk senantiasa bersabar dalam ketaatan, sabar dalam menjaga diri dari kemaksiatan, atau pun sabar dalam menghadapi cobaan.
Kita mengharap taufik-Nya, semoga bisa istiqomah dalam ketaatan dan mengisi setiap detik dari usia kita dengan sesuatu yang bermanfaat, sehingga kita termasuk orang-orang yang beruntung.
Wa shallallahu 'ala Muhammadin, wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'in.



Referensi:
- Tafsir Al-Qurtubi
- Syarh Alfiah Ibni Malik

_______________
Nopi Indrianto, B.Sh., M.H.

Senin, 02 Juli 2018

Tips Mengurus Surat Pindah, Membuat KK dan KTP

Anda penganten baru? Atau sudah lama menikah, tapi baru mau pindah alamat?

Berikut akan saya urai secara singkat dan gamblang tata cara mengurus Surat Pindah, serta pembuatan KK (Kartu Keluarga) dan KTP baru.

Pertama: Mengurus Surat Pindah dan perubahan KK lama dari Kota Asal.
1. Siapkan berkas-berkas berikut:
   a) KTP asli
   b) KK asli milik keluarga kita
   c) Fotocopy Akta Kelahiran
   d) Pas foto ukuran 4x6: 4 lembar
   e) Fotocopy Buku Nikah
   f) Surat pengantar dari RT/RW (bila perlu)

2. Pergi ke Balai Desa, serahkan berkas-berkas yang telah disiapkan untuk minta Surat Pengantar Pindah Keluar dan Permohonan Perubahan data KK lama.

3. Pergi ke Kantor Kecamatan, minta stempel Camat pada Surat Pengantar Pindah dan Perubahan KK yang telah diterima dari Balai Desa.
Di sini biasanya akan diminta 1 lembar foto.

4. Pergi ke Kantor Capil Kota/Kabupaten.
   a) Ambil nomor antrian/ datang langsung ke bagian pendaftaran.
   b) Tunggu dipanggil untuk verifikasi berkas-berkas.
   c) Ditunggu beberapa saat, jadi deh Surat Pindah dan KK-nya.

Kedua: Mengurus KK dan KTP di Kota Tujuan Pindah.
1. Siapkan berkas-berkas berikut:
   a) Surat Pindah asli
   b) Fotocopy Surat Pindah: 2 rangkap
   c) Fotocopy surat nikah: 3 rangkap
   d) Fotocopy Akta Kelahiran kita: 3 rangkap
   e) Fotocopy Akta Kelahiran istri/suami: 3 rangkap
   f) KK asli milik kelurga istri/suami
   g) KTP asli kita
   h) KTP asli istri/suami
   i) Surat pengantar dari RT/RW
   j) Map: 2 buah

2. Pergi ke Balai Desa, serahkan semua berkas, minta Surat Pengantar untuk pembuatan KK  dan KTP baru serta perubahan data KK milik keluarga istri/suami kita.
Biasanya akan diambil copy Surat Pindah, copy Buku Nikah, copy Akta Kelahiran dan map 1 buah. Satu rangkap lagi akan diminta di Kantor Camat.

3. Pergi ke Kantor Camat, minta stempel Surat Pengantar yang diperoleh dari Balai Desa.

4. Pergi ke Kantor Capil Kota/Kabupaten:
   a) Ambil nomor antrian/ datang langsung ke bagian pendaftaran.
   b) Tunggu dipanggil untuk verifikasi berkas-berkas.
   c) Ditunggu beberapa saat, jadi deh KK dan KTP kita serta KK keluarga istri/suami kita.

Demikian uraian singkat ini, semoga bermanfaat.

Tips: Usahakan jam 7 pagi semua berkas sudah siap, dan mulai meminta Surat Pengantar dari RT/RW. In syaa Alloh kalo lancar pengurusan selesai satu hari.
Kendala biasanya di Kantor Balai Desa yang lama.